Di era digital saat ini, internet telah menjadi sarana utama bagi masyarakat Indonesia untuk memperoleh informasi. Namun, fenomena yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa konten edukasi yang seharusnya bermanfaat justru sering kali mendapatkan reaksi negatif. Alih-alih menerima dan menghargai informasi yang dapat menambah wawasan, banyak netizen justru memberikan hujatan, meskipun konten tersebut disampaikan oleh para profesional yang berpengalaman. Pertanyaannya, mengapa hal ini bisa terjadi? Artikel ini akan membahas tantangan dalam mengedukasi netizen Indonesia dan mengidentifikasi beberapa penyebab di balik fenomena ini.
Banyak Konten Edukasi Mendapat Hujatan
Salah satu masalah utama yang dihadapi dalam mengedukasi netizen Indonesia adalah reaksi negatif terhadap konten yang berniat baik. Konten edukatif yang dibuat untuk memberikan wawasan dan informasi yang valid justru sering kali mendapatkan komentar yang tidak mengenakkan. Meskipun konten ini disampaikan oleh orang-orang yang berpengalaman dan ahli di bidangnya, reaksi publik sering kali bertolak belakang dengan harapan.
Di sisi lain, konten yang tidak bermanfaat, bahkan terkadang disinformasi atau hoaks, cenderung lebih mendapatkan perhatian dan interaksi positif dari netizen. Fenomena ini menciptakan paradoks: konten yang bermutu rendah lebih disukai, sementara konten edukatif diabaikan atau bahkan dihujat.
Penyebab Netizen Alergi terhadap Konten Edukasi
Ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan mengapa netizen Indonesia tampak "alergi" terhadap konten edukatif:
- Anomitas di Internet
- Internet memberikan anomitas (anonimitas) yang membuat orang merasa aman untuk berkomentar negatif tanpa menghadapi konsekuensi nyata, berbeda dengan interaksi tatap muka di dunia nyata. Hal ini membuat netizen merasa lebih bebas mengekspresikan ketidaksetujuan mereka dengan cara yang sering kali tidak sopan atau kasar.
- Ketidaksiapan Menerima Kritik
- Masyarakat Indonesia umumnya masih belum terbiasa menerima kritik yang membangun atau konten yang menantang cara berpikir mereka. Ketika dihadapkan dengan konten edukatif yang mungkin berlawanan dengan keyakinan atau kebiasaan mereka, banyak yang lebih memilih untuk menolaknya daripada memahaminya. Hiburan lebih mudah diterima daripada konten yang menuntut pemikiran kritis.
- Minimnya Literasi
- Tingkat literasi yang rendah di Indonesia menyebabkan kesulitan dalam memahami konten edukasi yang disampaikan. Ketika informasi terasa sulit atau terlalu kompleks, emosi seperti frustrasi dan marah bisa muncul, yang berujung pada komentar negatif.
Sikap Defensif dan Penolakan terhadap Kritik
Sikap defensif juga sering kali muncul ketika netizen menghadapi informasi yang bertentangan dengan keyakinan atau nilai-nilai mereka. Ini terkait erat dengan fenomena kognitif disonansi, di mana seseorang merasa tidak nyaman saat dihadapkan pada informasi yang berlawanan dengan keyakinan mereka yang telah mapan. Daripada menerima dan menganalisis informasi tersebut, banyak yang memilih untuk menolak atau bahkan menyerang konten tersebut.
Penilaian Berdasarkan Sumber, Bukan Isi
Netizen Indonesia sering kali cenderung menilai konten edukatif bukan berdasarkan isinya, tetapi siapa yang menyampaikan. Jika seseorang atau kelompok yang menyampaikan tidak sesuai dengan preferensi atau pandangan mereka, meskipun informasi yang disampaikan benar dan bermanfaat, konten tersebut akan tetap mendapatkan penolakan atau hujatan. Ini adalah masalah lain yang menghambat upaya edukasi.
Permasalahan
Budaya defensif terhadap kritik dan rendahnya tingkat literasi menjadi dua hambatan utama dalam mengedukasi netizen Indonesia. Selain itu, anomitas di dunia maya memberikan rasa aman bagi para netizen untuk melontarkan komentar negatif tanpa mempertimbangkan dampaknya. Penilaian terhadap sumber informasi juga sering kali mengalahkan substansi konten itu sendiri.
Solusi
- Peningkatan Literasi
- Program-program peningkatan literasi perlu lebih digencarkan, baik literasi baca-tulis maupun literasi digital. Dengan tingkat literasi yang lebih tinggi, masyarakat akan lebih mampu memahami dan mencerna informasi yang kompleks tanpa bereaksi emosional.
- Menyajikan Konten yang Menarik
- Agar konten edukasi dapat bersaing dengan konten hiburan, pembuat konten perlu merancang materi yang informatif namun tetap menarik dan mudah dipahami. Penggunaan visual yang menarik, interaksi yang kreatif, serta pendekatan yang lebih santai dapat membantu mengubah persepsi netizen terhadap konten edukatif.
- Pendekatan yang Lebih Personal
- Menyampaikan konten dengan pendekatan yang lebih empatik dan personal, yang tidak hanya mengedukasi tetapi juga menyentuh emosi audiens, dapat membantu mengurangi sikap defensif netizen.
Mengedukasi netizen Indonesia adalah tantangan besar, terutama ketika banyak di antara mereka menunjukkan penolakan terhadap konten yang seharusnya dapat memperkaya wawasan mereka. Namun, dengan pendekatan yang tepat, seperti peningkatan literasi dan penyajian konten yang menarik, tantangan ini bisa diatasi.
Kesimpulan
Fenomena netizen Indonesia yang sering menghujat konten edukasi adalah hasil dari berbagai faktor, mulai dari anomitas di internet, ketidaksiapan menerima kritik, hingga rendahnya tingkat literasi. Untuk mengubah kondisi ini, diperlukan pendekatan yang lebih kreatif, edukatif, dan empatik. Dengan usaha yang konsisten, perubahan sikap masyarakat terhadap konten edukatif dapat terwujud.
Sumber Referensi
- Kenapa Mengedukasi Netizen Indo itu SANGAT SUSAH?
- Anonymity and its impact on online behavior
- Cognitive Dissonance and Its Role in Human Behavior
- The importance of media literacy in digital age
