Bukber Zaman Now: Dari Silaturahmi Jadi Ajang Pamer?

Wahyu Ganzo
0

 


Bukber alias buka bersama, yang dulu jadi momen asyik buat ketemu teman-teman lama, sekarang udah berubah banget. Dulu, bukber diisi dengan canda tawa, nostalgia, dan cerita-cerita seru. Tapi, sayangnya, sekarang bukber sering kali jadi tempat pamer pencapaian hidup. Apalagi kalau udah ketemu sama teman-teman alumni sekolah atau kuliah, obrolannya jadi beda jauh dari yang kita harapkan.




Perubahan Makna Bukber

Bukber yang dulu identik dengan silaturahmi dan nostalgia, sekarang lebih sering jadi ajang buat ngepoin siapa yang udah sukses, siapa yang kerja di mana, atau yang udah nikah sama siapa. Enggak jarang, pertanyaan-pertanyaan di meja makan malah bikin kita merasa tertekan. Mulai dari soal karier, pasangan hidup, sampai rumah yang udah kebeli, semua jadi topik panas di bukber.

Bayangin aja, kamu datang bukber dengan niat nyambung lagi hubungan sama teman lama, eh malah dapat pertanyaan yang bikin kamu merasa belum 'sampai' di titik yang diharapkan orang-orang. Bukber yang harusnya santai malah jadi tempat pamer status sosial.


Manajemen Kesan dan Hierarki Sosial

Ada konsep yang namanya impression management yang bilang kalau setiap interaksi sosial, termasuk bukber, itu kayak pertunjukan. Maksudnya, kita sering tampil dengan versi terbaik diri kita supaya dapat pengakuan dari orang lain. Ini juga yang bikin bukber jadi semacam arena kompetisi enggak langsung.

Ada ketimpangan sosial yang muncul di bukber. Mereka yang dianggap udah sukses, sering kali jadi pusat perhatian, sementara yang masih berjuang, biasanya memilih lebih banyak diam atau merasa minder. Bukber yang harusnya jadi ajang ngumpul asyik malah berubah jadi tempat dimana kita merasa harus 'tampil'.


Dampak Psikologis dan Perbandingan Sosial

Bukber sering kali bikin kita secara enggak sadar banding-bandingin diri kita dengan orang lain. Ini ada hubungannya sama teori social comparison dari Leon Festinger. Di bukber, kita sering ngerasa kalau teman-teman kita jauh lebih sukses atau lebih 'jadi' daripada kita, dan hal ini bikin insecure atau minder.

Fenomena upward comparison (membandingkan diri dengan orang yang dianggap lebih sukses) sering terjadi di bukber. Enggak jarang, pulang bukber malah bikin kita ngerasa ketinggalan, atau bahkan mempertanyakan hidup sendiri. Padahal, hidup itu bukan soal siapa yang lebih dulu sampai, kan?


Ketidaknyamanan dan Validasi Sosial

Banyak orang yang akhirnya malas datang ke bukber karena enggak pengen pulang dengan perasaan minder. Meski pengen banget ketemu teman lama, rasa takut ditanya-tanya soal pencapaian atau keadaan hidup sekarang bikin sebagian dari kita milih untuk enggak datang.

Meski tahu budaya pamer ini enggak sehat, banyak dari kita tetap aja ngerasa butuh validasi dari orang-orang di sekitar. Sebuah ironi, di mana kita tahu ini toksik, tapi tetap aja ikut dalam permainan sosial tersebut.


Esensi Bukber yang Hilang

Bukber yang dulunya bermakna silaturahmi, sekarang sering cuma jadi ajang basa-basi. Setelah acara selesai, hubungan yang terjalin sering kali enggak berlanjut. Ini bikin esensi dari bukber sebagai momen menyambung tali persaudaraan jadi hilang.

Dalam masyarakat kita, orang cenderung dinilai dari pencapaian material, bukan dari siapa mereka sebagai individu. Ini jadi permasalahan besar dalam interaksi sosial kita, di mana rasa kebersamaan sering kali tenggelam oleh penilaian dari apa yang kita miliki.


Tipe Peserta Bukber

Peserta bukber bisa dibagi jadi dua tipe. Pertama, mereka yang datang buat pamer, dan kedua, mereka yang datang karena enggak enak buat nolak undangan. Enggak sedikit juga yang enggak datang karena capek sama permainan sosial yang ada di dalamnya.

Sebagian besar dari kita sadar kalau budaya ini enggak sehat, tapi sayangnya, susah untuk mengubahnya. Bukber yang dulu penuh kehangatan, sekarang lebih terasa kayak tempat saling mengukur diri.




Jadi, bukber zaman sekarang udah berubah banget dari apa yang dulu kita kenal. Dari silaturahmi yang penuh kehangatan, bukber kini lebih sering jadi ajang pamer dan kompetisi enggak langsung. Tapi, kita bisa kok pilih untuk tetap mengambil esensi dari bukber: kebersamaan dan nostalgia, bukan perbandingan atau pameran pencapaian.

Kesimpulan: Bukber memang masih jadi tradisi yang penting di masyarakat kita, tapi sayangnya esensinya udah mulai bergeser. Dari yang awalnya tempat kumpul dan silaturahmi, bukber kini sering jadi ajang pamer dan perbandingan sosial. Meskipun begitu, kita tetap bisa berusaha menjaga esensi positifnya, dengan tidak terjebak dalam permainan sosial yang menguras energi.

Disclaimer: Artikel ini disusun berdasarkan pengamatan umum dan referensi yang relevan. Pengalaman individu dalam menghadiri bukber bisa berbeda-beda tergantung pada lingkungan sosial dan personal masing-masing.



Sumber

Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)
Contact Us